Sejarah Desa

Desa adalah suatu pemukiman yang terletak di wilayah pedesaan atau perdesaan. Istilah "desa" digunakan secara luas di berbagai negara untuk menyebut pemukiman yang lebih kecil dan biasanya terdiri dari beberapa rumah tangga yang terletak di luar kota atau kawasan perkotaan. Sejarah desa memiliki akar yang sangat kuno, dan desa-desa telah ada sejak zaman kuno. Namun, perkembangan desa bervariasi di berbagai wilayah dan negara di dunia. Sejarah desa di Indonesia memiliki akar yang panjang dan dipengaruhi oleh beragam faktor budaya, politik, ekonomi, dan sosial. Berikut adalah gambaran umum tentang sejarah desa di Indonesia:

  1. Zaman Prasejarah: Sebelum catatan sejarah tertulis, masyarakat di Indonesia hidup dalam bentuk desa-desa. Masyarakat pra-sejarah Indonesia dikenal memiliki berbagai komunitas agraris yang hidup dari pertanian, perikanan, dan kegiatan berburu dan mengumpulkan. Banyak situs arkeologi di Indonesia mengungkapkan bukti pemukiman manusia kuno yang berorganisasi dalam pola desa.

  2. Zaman Hindu-Budha: Pada abad ke-4 hingga ke-15 Masehi, ajaran Hindu dan Budha mendominasi wilayah Indonesia, khususnya di Jawa, Sumatera, dan Bali. Selama periode ini, masyarakat Jawa mengembangkan sistem desa yang teratur dengan pusat desa yang dikenal sebagai "nagari" atau "desa desa".

  3. Zaman Islam: Seiring masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-13, terjadi perubahan budaya dan sosial dalam masyarakat. Desa-desa Muslim berkembang di berbagai wilayah, seperti di wilayah pesisir dan pantai utara Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Desa-desa ini didasarkan pada nilai-nilai Islam dan menampilkan struktur sosial yang khas.

  4. Kolonialisme Belanda: Pada abad ke-17 hingga abad ke-20, Belanda menjajah wilayah Indonesia. Penjajahan ini membawa perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi desa. Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang mengubah desa menjadi unit produksi pertanian untuk ekspor.

  5. Masa Kemerdekaan: Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pemerintah mempromosikan pembangunan desa untuk mencapai pembangunan nasional yang lebih merata. Program-program seperti transmigrasi, desa mandiri, dan pembangunan desa berbasis masyarakat diimplementasikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Sejarah Desa Satriyan

Desa Satriyan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Tersono, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah. Tersono berawal dari desa tua yang memiliki riwayat sejarah yang panjang, khususnya pada masa Mataram Kuno sampai pasca kemerdekaan Indonesia. Pada halaman ini akan membahas lebih lanjut mengenai sejarah lokal dari Desa Satriyan. Sejarah lokal merupakan suatu kajian sejarah mengenai kejadian-kejadian yang bersifat lokal atau meliputi wilayah lokal. Sejarah lokal dari Desa Satriyan merupakan kumpulan peristiwa maupun kejadian yang populer di wilayah Desa Satriyan menyangkut adat istiadat dan nilai budaya dari kearifan lokal masyarakat Satriyan sehingga menghasilkan suatu tradisi maupun kepercayaan yang berkembang di masyarakat.

Menurut folklore, wilayah Tersono memiliki cerita ketokohan atau “ksatria” seperti Ki Bahu Rekso yang berasal dari Kabupaten Pekalongan. Kisah “ksatria” di Tersono terlihat dari ketokohan Kyai Sabuk Alu yang menjadi cikal bakal dari masyarakat Satriyan. Kyai Sabuk Alu juga identik dengan kesuburan yang identik dengan lingga yoni dalam konsepsi Siwaisme. Asumsi ini didukung dengan rangkaian wanua di daerah lainnya, seperti Wonotunggal, Tersono, Reban, Bawang, Gringsing, Selopajang, dan Blado yang menjadi warisan peradaban Siwa-Budha sampai abad ke-10 (Butuk, 2010:204). Ditemukan juga sebuah patung Ganesha dan batu lonjong yang berukir cakra (simbol roda kehidupan) yang identik dengan Siwaisme. Hal ini menjadi bukti bahwa Tersono menjadi bagian dari peradaban masa Hindu. Wilayah Tersono pada masa Mataram Islam menjadi bagian dari Kabupaten Pemalang yang kemudian menjadi Kabupaten Pesisir Tegal. Selain itu, Tersono juga menjadi bagian dari jalur utama dari pemerintahan Mataram untuk menuju ke Kabupaten Pesisir Tegal yang memotong wilayah Kedu dari utara ke selatan. Pada masa Amangkurat I pada tahun 1955, tanah Jabarangkah menjadi tanah lungguh dari para priyayi mancanagara. Wilayah Tersono memiliki batas di sebelah utara Tempuran, di sebelah tenggara Pekalongan, dan barat daya Semarang yang disebut sebagai Jabarangkah (di luar batas) atau Jawikori (di luar pintu gerbang tol ke daerah pedalaman selatan). Sedangkan di daerah Nagaragung dan pesisiran terdapat apanage dari pembesar-pembesar istana Mataram. Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 Rouffaer menunjukan bahwa Tempuran Tersono atau Jabarangkah merupakan batas wilayah dari kolonial Belanda, Kesultanan Yogyakarta, dan Kesunanan Surakarta. Batas wilayah tersebut dikeluarkan dari keputusan Daendels pada tanggal 5 Januari 1811 kepada J.A. van Braam dan P. Engelhard tentang batas pemisah wilayah baru. 

Melihat sejarah panjang wilayah Tersono diatas tak luput dari warisan kebudayaan yang juga dapat ditemukan di Desa Satriyan seperti warisan pengetahuan mengenai kecintaan akan lokalitas mereka yang sangat kental dan tercermin pada adat istiadat di dalam masyarakatnya. Sejarah berdirinya Desa Satriyan terdapat beberapa versi yang dipercayai oleh masyarakat. Terbentuknya Desa Satriyan dipercaya dari seorang “ksatria” bernama “Satrio Melono” (satria yang berkelana) yang juga bergelar “Kyai Sabuk Alu” ada juga yang meyakininya sebagai Syech Maulana. Konon, terdapat pohon beringin besar yang tumbuh di Desa Satriyan dan Kyai Sabuk Alu menetap disana atau bisa dikatakan bersemedi. Kemudian datang Satriyo Melono untuk belajar keagamaan kepada Kyai Sabuk Alu. Setelah itu, Kyai Sabuk Alu memberikan wasiat kepada Satriyo Melono untuk menjaga pohon beringin tersebut dan tidak memperbolehkannya untuk pergi sebelum pohon tersebut ambruk. Pohon beringin diperkirakan tumbang pada tahun 95-an dan dari tumbangnya pohon tersebut menandakan kuat kepercayaan bahwa Satriyo Melono sudah pergi. Menurut babad tanah Satriyan, nama dari “Satrio Melono” inilah yang mengilhami nama desa ini sehingga disebut sebagai Desa Satriyan. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Muslikhun (Pak Be) Satrio Melono diyakininya sebagai seorang resi (Wawancara, 21 Juli 2023). Dari Satrio Melono juga terdapat beberapa klaim seperti: termasuk ke dalam 40 pejuang di Jawa Tengah dan ada juga yang menyebutnya sebagai Syech Maulana. Terdapat petilasan waliyullah Syech Kendil Wesi di Desa Satriyan. Menurut keterangan dari Bapak Salapudin, jika dilihat dari sejarahnya dahulu, Syech Kendil Wesi dengan Kyai Sabuk Alu diyakini sama, Kyai Sabuk Alu di sebelah timur sedangkan Syech Kendil Wesi di sebelah barat (Wawancara, 19 Juli 2023). 

Sejarah dari Desa Satriyan juga terkuak di Kecamatan Tersono ketika datang Habib Lutfi dan dilihat dari sejarawan yang bernama Atho’ilah dari Belanda yang sebenarnya berasal dari Gunung Kidul. Di Kecamatan Tersono dijelaskan bahwa terserat Satriyan pada alenia pertama, dilanjutkan Tempuran, Harjowinangun Barat dan Tersono. Menurut Habib Lutfi pada masa Sultan Agung terdapat 40 orang yang sedang memperjuangkan Jawa Tengah dari tangan para penjajah. Diantara 40 orang itu, ada yang bernama Syech Maulana. Syech Maulana inilah yang diyakini sebagai pendiri dari Desa Satriyan. Pro dan kontra terkait nama dari Desa Satriyan karena kepercayaan dari tokoh pendirinya yakni Satrio Melono, Kyai Sabuk Alu, dan Syech Maulana. Desa Satriyan terus berkembang menjadi sebuah desa yang maju dan memiliki beberapa dukuh. Masing-masing dukuh memiliki kisah pembukaan lahan hutan Alas Roban menjadi dukuh tersendiri yang semuanya merujuk kepada para ksatria Prajurit Mataram yang diperintah oleh Sultan Agung untuk mempersiapkan bekal pasukan dalam rangka penyerangan ke Batavia. Dari lima dukuh yang membentuk wilayah Satriyan kemudian berkumpul menjadi tiga dusun diantaranya: Dusun Satriyan Barat, Dusun Satriyan Timur, dan Dusun Sambongan. Tiga dusun ini terbagi lagi menjadi tiga RW yaitu: RW I Satriyan Barat terdiri dari 4 RT, RW II Satriyan Timur terdiri dari 3 RT, dan RW III Sambongan terdiri dari 4 RT. 

Pada tahun 1915-1930 kepala Desa Satriyan dijabat oleh R. Soeryadi kemudian diteruskan oleh R. Sumo. Periode tahun 1930-1940 menjelang proklamasi kemerdekaan Desa Satriyan terus berkembang dengan kepemimpinan kepala desa sebagai berikut:

  • Tahun (1940-1965) S. Noerjoto dengan Roesman sebagai Sekdes

  • Tahun (1965-1975) S. Noerjoto dengan Soenawar sebagai Sekdes

  • Tahun (1975-1978) Soegiyarno dengan Roebai sebagai Sekdes

  • Tahun (1978-1980) Soekip Padmodihardjo menggantikan Soegiyarno karena mengundurkan diri dengan Roebai sebagai Sekdes

  • Tahun (1980-1988) Roebai dengan S. Narito sebagai Sekdes

  • Tahun (1988-1989) Djoepri menggantikan Roebai sebagai Pelaksana Jabatan karena selesainya periode kades dengan S. Narito sebagai Sekdes

  • Tahun (1990-1998) Suhadi dengan S. Narito sebagai Sekdes

  • Tahun (1999-2007) Kasmui dengan Roebai sebagai Sekdes dan dilanjutkan Mugito sebagai Plt. Sekdes

  • Tahun (2007-2013) Ghozali, S.Ag dengan Mugito sebagai Plt. Sekdes

  • Tahun (2013-2019) Ghozali, S.Ag dengan Asip Awaludin sebagai Sekdes

  • Tahun 2019 Rokhmadi sebagai Kades dan Asip Awaludin sebagai Sekdes

 

Masjid pertama kali di Desa Satriyan didirikan oleh seorang Kyai yang dikirim dari Kerajaan Cirebon. Ia datang ke Desa Satriyan untuk menyebarkan agama Islam. Selain itu, Satriyan juga terkenal sebagai desa yang mayoritas penduduknya santri atau pernah menyantri. Sehingga sampai saat ini Desa Satriyan masih memiliki kebudayaan yang sangat kuat dalam tradisi, upacara atau kegiataan keagamaan khususnya agama Islam. Kebudayaan yang masih dilestarikan sampai saat ini adalah pelaksanaan sedekah bumi dan peringatan Maulud Nabi untuk mendoakan Syech Maulana. Sedekah bumi yang dilaksanakan satu tahun sekali ini juga disebut sebagai Haul dari masyarakat sebagai ucapan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat dan karunia yang telah diberikan. Mengingat bahwa Desa Satriyan merupakan desa yang sangat subur karena dialiri oleh tiga sungai yaitu sungai Petung, sungai Belo, dan sungai Kalipucung. Sehingga masyarakatnya tidak pernah kekurangan air dan bisa melakukan penanaman padi sebanyak 3 kali dalam kurun waktu satu tahun. Pengajian juga dilakukan rutin mulai dari lingkup RT, RW maupun pemerintahan desa. Seperti mujahadah bersama yang dilakukan perangkat desa setiap malam Jum’at Kliwon. Selain kebudayaan, terdapat kesenian terbangan yang masih dilestarikan sampai saat ini. Terbangan merupakan bentuk kesenian yang bernafaskan islam dengan diiringi lagu-lagu sholawat. Kesenian ini dilaksanakan setiap Jum’at Legi di Masjid dengan terbang yang digunakan masih tradisional bukan terbang yang bercorak modern. 

 

Narasumber:

1. Bapak Muslikhun, S.pd.I

2. Bapak Salapudin, S.pd.